About

Rabu, 08 Agustus 2012

Melagukan Dzikir Dan Do`a

Artikel : Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Di antara hal-hal baru yang dimunculkan oleh manusia di dalam suara dan pelaksanaan ibadah adalah: bid’ah menyanyikan atau melagukan adzan, dzikir, do`a dan shalawat kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam, melagukan bacaan khutbah Jum’at, berdzikir dan berdo`a dengan suara keras di sanding jenazah pada beberapa kondisi, dzikir dengan berjamaah, yaitu dzikir jamaah di antara dua shalat tarawih, mengeraskan dzikir sewaktu keberangkatan dan kedatangan rombongan haji, meninggikan suara sewaktu ber-ta’rif (membaca dzikir dan do`a pada hari ‘Arafah) di berbagai tempat, berteriak sewaktu mengucapkan âmîndi dalam shalat, bersuara nyaring sewaktu membaca ayat kursi secara berjamaah setelah shalat, ucapan seorang muadzin(tukang adzan) dengan suara tinggi setelah shalat: ‘Ya Allah, Engkaulah Keselamatan…..” dan meninggikan suara sewaktu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallamsetelah shalat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang bila dikerjakan dan disuarakan merupakan perbuatan bid’ah. Atau dengan kata lain, bahwa menyuarakan dan mengeraskannya adalah bentuk perbuatan bid’ah.

Meninggikan suara ini telah dikenal dengan nama ‘Taqlîs’. Ath-Thurthusyi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’”, hal. 63, menuturkan bahwasanya Imam Malik rahimahullah sangat mengingkari perbuatan ‘Taqlîs’ di dalam do`a. Yaitu, meninggikan suara sewaktu berdo`a. Juga dilarang meninggikan suara sewaktu membaca al-Qur’an, sebagaimana ketika Imam Syafi’irahimahullah mengungkapkan tentang Imam Abu Yusufrahimahullah , beliau berkata, “Abu Yusuf adalah “Qallâs”, yaitu orang yang selalu meninggikan suaranya sewaktu membaca al-Qur’an.” Dan saya telah menjelaskan hal ini di dalam bahasan “Bida’ al-Qurrâ’”, hal.15-16.

Sungguh, berbagai hal baru ini telah menular kepada kalangan pengikut atsar (sunnah). Maka tidak heran jika Anda mendengar suara sangat keras di dalam bacaan qunut oleh sebagian imam di bulan Ramadhan, suara kadang direndahkan dan kadang dikeraskan sesuai dengan maksud dari do`anya, dan ditambah dengan berlebih-lebihan dalam melagukannya, membaguskan bacaan (tajwid)nya dan mentartilkannya, hingga seolah-olah dia sedang membaca satu surat al-Qur’an. Dengan bacaan yang demikian itu, dia berupaya memancing perasaan para makmum, agar mereka menangis.

Beribadah dengan hal-hal baru seperti itu di dalam Islam, yaitu bid’ah-bid’ah yang ditambahkan-tambahkan pada suara dan cara pelaksanaannya ini, asalnya bersumber dari syi’ar-syi’ar orang-orang Jahiliyah yang pernah mereka perlihatkan di Masjidil-Haram. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala –dengan nada mengingkari-,


وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً 
“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (al-Anfal: 35).

Kata “al-mukâ”, di dalam ayat ini berarti: bunyi siulan, dan kata‘tashdiyah’ berarti: bersorak sambil bertepuk tangan hingga menimbulkan bunyi tepukan.

Ahli tafsir kesohor, Al-Alusi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah, bahwa sejenis amalan-amalan ini bukanlah ibadah, melainkan ia adalah syi’ar-syi’ar kaum Jahiliyah. Maka, siulan dan tepukan tangan yang sekarang ini dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh (awam) dari kaum muslimin di dalam masjid, yang mereka klaim sebagai ibadah dzikir kepada Allah ta’ala, termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang Jahiliyah. Sungguh, alangkah indahnya ucapan seseorang yang mengatakan:“Pernahkah Allah ta’ala mengatakan: “Bersoraklah untuk-Ku, bernyanyilah, ucapkanlah kekufuran, dan namakan kekufuran itu sebagai dzikir.” Demikian tutur beliau.

Dan berbagai nada, suara merdu, paduan suara dan lagu yang mengiringi dzikir dan do`a ini, menyerupai apa yang dibuat-buat oleh orang-orang Nasrani di dalam puji-pujian mereka. Padahal, Nabi Isa 'alaihi sallam beserta para hawariyûn (pengikut setia beliau) tidak pernah menyuruh mereka melakukan itu. Itu sebenarnya dibuat dan diada-adakan oleh orang-orang nasrani, seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah.

Oleh karena itu, pada saat ini, kami melihat dan mendengar nyanyian di dalam do`a merupakan ciri khas kelompok Rafidhah dan Tarekat. Maka, wajib bagi kaum Ahlussunnah agar menghindarkan diri dari menyerupai perbuatan mereka.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta] 

1 komentar:

  1. Alhamdulillah bertambah satu blog lagi yang bukan hanya mengejar dunia tapi juga mengingat akhirat

    BalasHapus